Senin, 03 Januari 2011

Lolos Setelah Tukar Dolar di Kairo

MALAM semakin gelap. Perahu penyelundup ganja ke Singapura tak kunjung tiba. Di Pelabuhan Tanjung Pinang, Tarmuzi dan Adam gelisah menunggu. Dua pemuda asal Kayuagung Kabupaten OKI ini hendak mengadu nasib ke negeri orang. Bukan jadi TKI, tapi jadi duta!  Satu jam berlalu. Dari kejauhan, perahu kajang yang ditunggu mendekat. Ada lima orang di perahu. Tarmuzi bicara dengan serang, yang kemudian mengizinkan numpang berlayar setelah diberi sejumlah uang. Keduanya diminta sembunyi di balik karung-karung berisi ganja.
 Di tahun 1962 itu, satu perahu bermuatan ganja berlayar menembus gelapnya malam tanpa rintangan. Tarmuzi dan Adam tidak bisa tidur, tapi juga tak bisa melihat. Udara tipis karena berada di antara himpitan karung membuat sesak.
 Pengorbanan besar. Namun kelak, tepatnya 30 tahun kemudian, Tarmuzi yang lebih dikenal dengan nama H Tarmos diangkat jadi krio, lurah, anggota Dewan, dan pengusaha sukses di OKI. Kisah suksesnya pula yang telah menginspirasi para pemuda Kayuagung ramai-ramai jadi duta, menyusul Adam yang tetap bertahan.
 “Saya merasa beruntung bisa keluar dari pekerjaan itu dan berhasil seperti sekarang, dalam artian orang tahu siapa saya,” kata Tarmos.
Tiba di Singapura, Tarmos dan Adam bergabung dengan kelompok duta pendahulu pimpinan Saidi, Soleh, dan Adam. Keduanya numpang tinggal di rumah warga keturunan Cina di Singapura dan menjual barang hasil beraksi pada tuan rumah.
 Dari Singapura, keduanya ke Malaysia. Hingga membentuk kelompok sendiri dan beraksi di Thailand, Kamboja, dan Australia. Benua Eropa juga dijajaki, seperti Perancis dan Swis, kemudian ke Mesir dan Iran. Tarmos mengaku sudah pergi ke 20 negara. Hanya Amerika Serikat yang belum pernah didatangi.
 “Soalnya sulit visa karena harus ada jaminan, tes dan lainnya. Sulit untuk pergi ke sana,” kata Tarmos di kediamannya.
Menurut Tarmos, adaptasi tak terlalu sulit di negara orang. Tidak terlalu begitu perlu kuasai bahasa asing.
 “Sewaktu-waktu kita ada kalanya tidak tahu apa-apa. Jangan sok tahu dan apa pun pekerjaan tidak dengan kekerasan, dengan halus kelabui orang. Memang ada teknik khusus,” katanya.
 Kiprah Tarmos dan rekan tergolong rapi dan lancar. Dia pernah mengalami kesulitan di Paris karena biaya ke luar tinggi. Tak kurang akal, Tarmos memanipulasi data di paspor karena ada aturan umur 21 tahun dapat keringanan biaya.
 Pengalaman paling mendebarkan sewaktu beraksi di Kairo, Mesir. Salah seorang anggota kelompok tertangkap. Situasi tidak mungkin buat Tarmos dan rekan langsung membebaskannya. Mereka pilih pulang ke hotel tempat menginap dan menyusun rencana.
 “Tapi sebelum itu kami tukar uang sana dengan dolar. Betul, tak lama hotel didatangi polisi. Di sidang kami bebas karena tidak ada bukti. Kedutaan di sana pusing dan minta kami segera pulang,” tutur Tarmos, tersenyum mengenang masa itu.
 Putuskan Pulang Sripo tandang ke rumah H Tarmos di Kelurahan Kedaton, Kayuagung, di pinggir Sungai Komering berseberangan dengan rumah dinas Bupati OKI, Jumat (24/12) pukul 16.30.
Nama Tarmos (69) direkomendasikan Camat Kayuagung Herdi Apriansyah setelah berkoordinasi dengan Humas dan Protokol Pemerintahan Pemkab OKI, Drs H Edward Chandra.
 Tidak sulit mencari rumahnya karena semua orang kenal dengan mantan duta itu dan dengan senang hati menunjukkannya. Terbayang bakal bertemu sosok pria bertubuh kekar, tampang sangar, dan tidak bersahabat.
 Sore itu kebetulan Tarmos sedang santai dekat rumahnya. Dia kumpul dengan sejumlah warga di depan panggung pernikahan tetangga. Anak kecil dan pemuda dekat situ menyebutnya Pak Lurah.
Seseorang menunjuk pria tegap berambut putih. Sudah berumur, tapi masih punya kharisma kuat.
“Dari Pak Camat,” katanya tanpa ekspresi menyambut tangan Sripo, lantas berdiri dan jalan menuju rumah tingkat dua semipermanen. Puluhan pasang mata warga melihat ke arah kami.
 “Ada apa?” kata Tarmos tak lama setelah mempersilahkan duduk di ruang tamu lantai dua.
Sripo menjelaskan kedatangan untuk menulis soal budaya duta di Kayuagung. Dia langsung protes, “Saya pikir ini bukan budaya.” “Budaya itu suatu hal yang diwariskan turun temurun sejak jaman nenek moyang. Duat ini baru ada tahun 1960-an,” lanjut Tarmos.
 Sejenak terdiam sembari berusaha mengenang masa lalunya, Tarmos kemudian mengurai secara rinci perjalanan terjun ke dunia hitam yang disangkalnya sebagai bagian dari budaya itu.
 Suasana mulai cari. Pembawaan bapak tujuh anak yang sudah dikaruniai 21 cucu ini santai dan cukup humoris. Dia beberapa kali menghentikan bincang-bincang dengan mangajak minum sirup dan sepiring kue bolu nanas di meja.
 “Perlu saya tekankan, tidak semua orang Kayuagung menjadi duta. Bisa jadi orangtuanya baik dan berada, tapi anaknya yang justru coba-coba. Seperti saya ini, orangtua saya ketib,” kata Tarmos.
 Ia memulai kiprahnya sebagai Duta pada usia 21 tahun langsung ke Singapura. Negara ini disebut Tarmos sebagai tempat persinggahan selain Malaysia. Kalau dapat duit, pulang ke Kayuagung atau mampir di Jakarta dan Surabaya, kemudian kembali lagi ke Singapura.
 “Duit yang didapat habis saja. Tidak berkesan sama sekali. Lihatlah, saya masih tinggal di rumah peninggalan orangtua,” ujarnya.
 Tahun 1974 Tarmos naik haji dan pulang ke Kayuagung tahun 1978. Dia mengakui sejak lama punya niat berhenti jadi duta. “Saya punya itikad tidak akan teruskan pekerjaan ini,” katanya.
 Warga menyerahkan tanggung jawab jadi krio (kepala desa). Tahun 1979 keluar UU No 4, Tarmos lantas diangkat lurah bersama 9 orang lainnya dan secara otomastis jadi PNS.
 Situasi di zaman Orde Baru membuat dia harus terjun ke dunia politik bersama partai berkuasa di masa itu. Dan pada periode tahun 1992-1997, setelah 12 tahun jadi lurah, Tarmos terpilih sebagai anggota DPRD OKI dan pensiun tahun 1999. Tarmos jadi pengusaha.
 “Alhamdulillah mantan duta diberi pekerjaan, akhirnya sekarang banyak yang jadi pemborong yang berhasil,” ujarnya.
 Tujuh anaknya sukses jadi PNS dan pengusaha. Kini Tarmos menikmati hidup di antara kelucuan 21 cucu. Untuk mempersiapkan bekal di masa depan H Tarmos memutuskan membangun masjid tidak jauh dari rumahnya.

Duta Kayuagung Makin Terjepit



Beberapa tahun yang lalu, Kayuagung dan sekitarnya dikenal sebagai pemasok duta, yakni para pelaku kriminal yang secara khusus beroperasi di luar negeri. Kelompok ini tak kalah tenar dengan triad Hongkong sehingga ruang geraknya dipersempit. Mereka kini mengalihkan operasi ke negara berkembang seperti Vietnam dan Kamboja.
 Mereka beraksi ada yang menjadi agen asuransi kemudian melarikan uang itu, ada yang melakukan hipnotis, menukarkan tas yang sama dengan milik korban, dan cara lain yang dilakukan tidak dengan terang-terangan mencuri-terlebih merampok.
 Duta terbagi beberapa kelompok yang beroperasi secara terpisah antar kelompok itu. Satu kelompok anggotanya dua sampai lima orang, meski ada juga yang bekerja sendirian dengan segala trik dan kemampuannya. Ini tidak banyak karena sulit dan resiko besar.
 Bandingkan dengan secara berkelompok yang dapat berbagi tugas. Ada yang tugasnya menggambar suasana (meta) dan berangkat duluan ke lokasi, yang lain nantinya mengecoh calon korban dan mengeksekusi. Jalan keluar juga sudah disiapkan. Mereka profesional tak jauh beda seperti di film-film laga yang kerap kita saksikan. Namun, duta pantang melakukan kekerasan.
 Untuk menjadi seorang duta tidak gampang. Di samping harus memiliki pegangan khusus, baik dari kiai maupun dari dukun, juga harus mampu berpenampilan intelek dan perlente. Sebab duta tidak sama dengan penyamun. Mereka pun pantang beroperasi di negeri sendiri. Ada semacam hukum tidak tertulis yang membuat mereka berpantang seperti itu.
 Meski pemerintah tak pernah mengutus ke luar negeri untuk tugas khusus, tetap saja mereka ini dikenal sebagai duta. Tidak hanya kiprah dan sepak terjang di dunia hitam yang mendunia, keberadaan duta -tak dapat dipungkiri- sudah menjadi bagian dari identitas daerah Sumatera Selatan.
 Mantan duta generasi pertama, H Tarmuzi Yusuf alias Tarmos (67), menuturkan, sekarang ini masih ada duta yang pergi ke luar negeri, tapi tak seramai dulu. Program pembangunan dan terbukanya lapangan kerja di Kabupaten OKI, ditambah lagi ketatnya pengawasan aparat di negara tujuan, membuat para pemuda Kayuagung mulai meninggalkan pekerjaan itu.
 “Zaman sudah berubah. Di samping pekerjaan sudah banyak tersedia, mereka sudah terlacak di Singapura dan Hongkong. Orang sudah tidak minat lagi. Saya prediksi tahun 2020 nanti habis,” katanya.
 Ditambahkan Tarmos, duta sekarang memilih beroperasi ke negara-negara berkembang di Asia Tenggara seperti Laos, Vietnam, dan Kamboja karena masuk ke negara itu relatif lebih mudah.
 Tarmos mengungkap cara duta beraksi sejak era 1960. Dia sendiri sudah merambah 20 negara. Mulai dari numpang perahu penyelundup ganja seperti yang dia alami, sampai dengan memanipulasi identitas karena ruang gerak duta dipersempit aparat di negara tujuan di Benua Asia dan Eropa.
 Tarmos dan Adam adalah generasi kedua kelompok duta Kayuagung. Generasi pertama kelompok Saidi, Soleh, dan Adam yang telah berpulang. Tarmos pernah bertemu ketiganya awal merantau ke Singapura naik perahu kajang penyelundup ganja dulu.
 Selama ini kisah mereka selalu misterius dan dibumbui sedemikian rupa sehingga kian menarik untuk diperbincangkan. Seperti cerita tentang salah seorang warga kampung Sidakersa Kayuagung yang pernah pulang bawa uang sebanyak satu milyar hanya dalam waktu dua minggu. Pernah juga ada yang membawa uang seratus juta setelah dua bulan mintar.
 Dari hasil mereka ngeratak itu ada yang mampu membangun rumah, membeli kendaraan, naik haji, membangun masjid, membangun jalan kampung, atau menjadi bos lebak lebung.
Kisah duta bernama Akip juga jadi perbincangan warga karena sampai sekarang belum juga pulang. Kabarnya dia ditangkap di Malaysia dan dihukum mati di sana. Terdengar juga kabar bahwa dia masih di penjara.
 Ada lagi Udin, kabar yang tersiar dia ditembak interpol di Singapura. Kawan-kawannya yang lain tidak bisa mengambil jenazahnya karena faktor keamanan.
 Sukses mendapat duit dari korban di Paris, misalnya, kelompok itu kembali ke Singapura atau Malaysia. Dua negara ini merupakan basecamp tempat kumpul duta usai beraksi. Dari sana baru pulang ke Kayuagung dan menghambur-hamburkan duit.
 “Uang habis begitu saja. Duta itu disenangi karena boros, dianggap baik dan royal,” kata Tarmos.
Tarmos enggan merinci cara mereka beraksi dan sejauh mana kebenaran kisah-kisah seperti itu. Satu hal yang dia bantah adalah adanya sedekah dan potong sapi sebelum duta berangkat karena keluarga sudah ikhlas melepas kepergiannya. Keluarga merasa beruntung kalau bisa kembali dan bawa uang, atau tak ketemu lagi karena ditangkap atau ditembak mati.
 “Tidak enak kalau saya cerita, tapi kalau sedekah sampai potong sapi itu tidak benar. Sedekah pulang dari sana bisa saja,” katanya.
 Stop Duta Kepala Dinas Tenaga Kerja OKI, H Sumijarno SSos MM melalui staf Penempatan dan Pengantar Kerja Chandra D SIP, mengatakan, tenaga kerja di luar negeri asal Kabupaten OKI memang lebih banyak dibanding daerah lain di Sumsel.
 Setiap tahun Kabupaten OKI merekomendasikan paspor keberangkatan TKI mencapai ratusan orang. Mereka berangkat melalui sponsor perusahaan tenaga kerja dengan tujuan terbesar ke Negeri Jiran, Malaysia.
 “Setahun warga OKI bisa mencapai 253-350 orang yang mengurus paspor keberangkatan ke luar negeri,” kata Candra.
Kabid Humas Polda Kombes Sabaruddin Ginting ketika dikonfirmasi soal kiprah duta ini mengatakan, pihaknya tidak memiliki data mengenai tindak kejahatan yang dilakukan duta Kayuagung di berbagai negara.